Oleh : Ory H Deta
Kondisi Indonesia saat
ini sudah
terlampau jauh ketika kita lihat dari segala aspek baik itu secara ekonomi,
budaya, sosial,dan lain-lain. Terlampau jauh dalam
hal ini sudah 67
tahun kita merdeka. Dan sekarang
sudah memasuki tahun
ke-68 untuk
merdeka bebas dari penjajah yang
sebenarnya bebas dari segala tirani ataupun dari segala lini yang secara tidak
sadar bahwa kita belum seutuhnya merdeka. Kondisi ini membuat kita terkadang
terlena. Bahkan
juga kita cenderung
untuk diam. Dalam artian diam
melihat kondisi yang semakin hari semakin terasa dampaknya.
Bangsa Indonesia
merupakan bangsa yang boleh dikatakan bermartabat dan kaya akan SDA. Dimana itu semuanya cuma dongeng masa lalu
yang membuat kita pun terlena, bahkan
lupa akan identitas bangsa kita yang mempunyai banyak kelebihan (kita dikatakan bangsa yang multikultur). Inilah yang perlu kita cermati, apa
benar pengakuan
ini sudah dipahami secara matang atau masih perlu di tinjau. Yakni tentang identitas bangsa kita
yang belum semuanya masyarakat paham tentang bangsa Indonesia yang
sesungguhnya dimana pancasila sebagai identitas bangsa yang tidak bisa di ganggu gugat lagi.
Banyak persoalan
kebangsaan yang masih belum diperbaharui secara keseluruhan acapkali sering
terdengar bangsa ini membutuhkan perubahan. Tapi dengan kondisi yang masih
mempertahankan identitas diri atau kelompok sering terjadi di berbagai
kalangan, pertikaian-pertikaian yang mengarah ke SARA masih sering terjadi dengan berbagai
persoalan. Bahkan
tidak mengakui bahwa ini adalah bagian dari konflik SARA.
Etnonasionalisme yang
dulu sempat merupakan stimulus untuk menggapai kemerdekaan sekarang sudah
berganti arah. Sekarang
menuju pada pengakuan akan daerah atau kelompok saya yang benar. Inilah yang bisa di tinjau kembali apakah kesalahan masa lalu atau
kesalahan segelintir orang yang menjadikan isu ini sebagai batu loncatan menuju
kepentingan pribadi.
Keindonesiaan kita masih perlu untuk diperbaharui. Pertanyaannya apakah benar ini merupakan
proses peradaban atau cuma khayalan
di siang bolong. Dimana belum
ditemukannya formula baru yang
tepat sehingga masyarakat benar-benar memperoleh kedamaian dan kesejahteraan.
Serta kemudian kita dikatakan 100% merdeka. Polemik bangsa yang
akhir-akhir ini terjadi membuat
kita sebagai anak bangsa merasa gelisah. Dan memang cukup memprihatinkan kondisi keindonesiaan kita. Sehingga timbul pertanyaan apakah kita harus seperti negara Ethiopia
atau bahasa kasarnya negara
gagal?
Keindonesian kita
akhir-akhir ini lebih
menonjolkan identitas yang mengarah pada kepentingan kelompok. Akibat dari sikap yang seperti ini, citra Indonesia yang
dahulunya dikenal sebagai bangsa penganut paham gotong royong sudah berangsur-angsur hilang sekarang. Dan lebih mengarah pada
sikap individual, Tidak
dapat dipungkiri mengenai sikap individu itu merupakan sebuah sikap yang menuju
pada pribadi yang matang atau pada kepentingan karir. Namun kita harus jeli dalam melihat
proses aktualisasi diri. Sekarang
kita berada dalam kondisi yang seperti apa?
Dengan
lebih mengutamakan kepentingan pribadi di tengah carut-marutnya bangsa kita saat ini, membuat bangsa kita pun kehilangan
identitas yang sesungguhnya.
Sehingga
menimbulkan sikap eksklusif yang mengarah pada hilangnya nilai keindonesiaan yang sejati.
Indonesia kita yang
diangkat pada topik ini lebih mengutamakan sikap kolektif. Yakni sama seperti bangsa Indonesia dibangun atas dasar kebutuhan
karena adanya sikap kebersamaan lebih mengutamakan bangsa indonesia yang adil
dan bermartabat. Dan sama
seperti pada waktu para founding father/mother
kita menjadikan bangsa ini republik
bukan negara bagian. Karena
berdasarkan persamaan persepsi dan juga culture,
hubungan antara budaya-budaya di nusantara ini hampir semua daerah memiliki
persamaan dalam kultur dan lain-lainnya. Tidak salah sehingga Gadjah Mada pada waktu itu mengangkat sumpah
palapanya dimana tujuannya mempersatukan
nusantara.
Atau
kita cermati lagi makna sumpah pemuda yang belum terlalu jauh kita rayakan. Keinginan dan kebutuhan yang sama secara
kolektif sehingga diangkatnya
sebuah sumpah pemuda yang arahannya lebih pada kepentingan bersama. Karena adanya kepercayaan (trust)
antara pemuda pada waktu itu sehingga munculnya sumpah yang sangat berpengaruh
sampai saat ini.
Pancasila yang kita
anut sebagai paham bangsa haruslah di
jaga identitasnya. Karena
banyak nilai yang tertanam
didalamnya yang bisa kita arahkan pada rasa saling percaya antara suku, ras dan
agama. Timbulnya
rasa ini jika adanya kemauan di antara
perbedaan budaya dan agama, maka sikap yang sudah di bangun pada
waktu itu tentunya akan terus ada pada saat ini. Misalnya di daerah Yogyakarta mengangkat sebuah istilah hamemayu hayuning buwana[1] yang
merupakan istilah yang pakai bagi sultan sebagai raja atau ksatria. Ini diangkat sebagai kearifan lokal yang
harus dijaga sultan sebagai raja bagi
orang
Yogya. Kepercayaan ini harus dijaga agar kharismanya bisa
terjaga.
Istilah
hamemayu hayuning buwana ini
merupakan rasa keutuhan dan rasa kemanusiaan yang perlu dijaga. Ini membutuhkan rasa saling percaya
sehingga terbangun sebuah kebersamaan. Dimana masing-masing orang menyadari bahwa manusia
itu sama tidak ada perbedaan golongan yang dilihat adalah rasa kemanusiannya
dan sesama ciptaan Tuhannya bukan untuk menguasai satu sama lain.
Melihat kondisi
indonesia yang multikultur
ini, ada
semboyan bahwa “ Pelangi
memiliki banyak perbedaan warna.
Ketika
perbedaan warna itu beragam, justru
menghadirkan sebuah keindahan”.
Kita
kaitkan dengan Indonesia
yang banyak suku, ras, dan agama; tentunya
banyak keragaman. Tapi
ketika semuanya memiliki kesamaan tekad untuk bersatu, tentunya akan mengalami keindahan.
Rasa nasionalisme yang
harus di jaga bukan karena adanya kepentingan dan karena adanya kebutuhan dari aspek politik, ekonomi, ketahanan, dan sosial. Kadang istilah ini sering dijadikan
sebagai pemantik untuk ajang mencari popularitas. Memang ketika diterjemahkan atau dimaknai dalam lingkup bela negara, itu perlu. Tapi kadang ini malah dijadikan janji-janji
yang justru menjebak publik karena
adanya kepentingan sesaat.
Marilah kita menelaah
lebih jauh makna nasionalisme lebih pada ke-KITA-an bukan pada ke-AKU-an. Di sini bisa kita lihat sebagai kebutuhan bersama untuk
mencapai bangsa yang benar-benar bermartabat dari berbagai sektor. Baik itu ekonomi, sosial, maupun budaya.
Rasa memiliki terhadap
bangsa ini kita bangun atas dasar kebutuhan yang sama. Sehingga tidak ada lagi diskriminasi
terhadap yang minoritas. Kita perlu
ingat bahwa bangsa ini dibangun bukan atas dasar mayoritas dan
minoritas, tapi
karena adanya kebutuhan yang sama. Bung
Karno sebagai founding father kita sempat menegaskan bahwa “Di dalam Indonesia merdeka itu, perjuangan kita
harus berjalan terus, hanya lain sifatnya dari perjuangan sekarang. Nanti kita
bersama–sama sebagai bangsa, bersatu padu, berjuang terus menyelenggarakan apa
yang di cita-citakan di dalam Pancasila.” (Pidato Lahirnya Pancasila, 1 Juni 1945).
Bhineka Tunggal Ika, sebagai semboyan bangsa kita yang punya latar belakang keragaman perbedaan, marilah dilihat sebagai pengakuan
bersama atas kepercayaan yang harus kita bangun sebagai bentuk solidaritas
membangun bangsa untuk menuju kesejahtraan dan kedamaian bersama.
Melihat keindonesiaan saat ini, tentunya perlu ditinjau kembali mengenai
identitas dan status yang benar-benar menunjukan identitas. Yakni lewat karya
yang nyata. Sehingga timbul kepercayaan (trust)
dalam lingkup anak negeri. Karena sikap ke-AKU-an sudah semakin merasuk dan
mengakibatkan runtuhnya sikap rasa cinta tanah air.
Sebagai anak bangsa, saat ini kita pun sudah berada dalam lingkup sikap
seperti itu. Dengan semakin maraknya kondisi kebangsaan yang mengarah pada
konflik SARA, justru membuat kita kehilangan identitas. Sebagaimana sudah dijelaskan
mengenai Bhineka Tunggal Ika tadi yang mengarah pada pengembangan rasa saling
percaya. Dan mengarah pada kepentingan Indonesia yang ke-KITA-an, bukan pada kepentingan
individu atau kelompok.
Konsep pembangunan bangsa ini, dari masa kemerdekaan sampai pada masa reformasi,
memilki banyak persepsi yang berbeda-beda. Zaman Soekarno dengan konsep
pembangunan dan rasa nasionalisme yang lebih ditekankan. Sedangkan zaman Soeharto
lebih pada konsep pembangunan ekonomi. Memang tidak bisa dipungkiri bahwa era Soeharto
lebih nyata pembangunan dari segi ekonomi. Tapi justru mendatangkan hutang bagi
kita generasi penerusnya.
Kalau dikaji lagi dalam berbagai aspek, tentunya banyak sekali persoalan kebangsaan
yang sebenarnya bisa kita lihat dan mampu dijadikan pedoman untuk konsep
pembangunan bangsa yang menjadi tantangan kita kedepannya. Kebutuhan bangsa
saat ini adalah bagaimana menciptakan generasi yang kreatif, inovatif, afektif,
dan tentunya rasa cinta tanah air. Karena dari hal inilah, timbul generasi yang
benar-benar solid dan juga bela tanah air melalui memahami kembali sejarah dan
juga memaknai arti dari bela tanah air yang sesungguhnya.
Keragaman Indonesia yang menjadi kebanggaan sudah luntur dan bahkan hilang
dari berbagai sudut pandang. Baik itu dari aspek budaya, sosial, maupun ketahanan
negara. Makin menurunnya budaya kolektif yang sudah dibangun dari para
pendahulu kita, membuat makin melemahnya pemahaman tentang Indonesia. Inilah
yang menjadi tantangan bagi kita generasi penerus.
Pemaknaan otonomi daerah yang sudah sekian lamanya dipertentangkan, sampai
saat ini pun masih mencari format harus yang seperti apa. Di sini dapat dilihat
apakah dengan persoalan etnonasionalisme melalui konsep otonomi daerah ini yang
membuat kita terjebak. Misalnya dengan konsep kepala daerahnya adalah anak
daerah, kemudian memunculkan sikap sektarian dan primordialisme. Dan dari hal
inilah yang membuat nasionalisme memudar bahkan hilang.
Ideologi bangsa Indonesia, dengan empat pilar kebangsaan yang menjadi
pedoman demi mencapai bangsa Indonesia yang di cita-citakan, menjadi kebutuhan
yang setiap era atau zaman tidak akan selesai dibicarakan. Karena di berbagai
era tentunya persoalan yang dihadapi berbeda.
Susahnya mendefinisikan persoalan bangsa
yang menjadi pokok dari sekian banyaknya persoalan kadang menimbulkan banyak
penafsiran. Sehingga kita, sebagai kaum muda yang menganggap bahwa letak masa
depan bangsa itu ada di pundak kita, hendaknya banyak berefleksi tentang konsep
negara yang sudah dibangun. Sehingga memacu kita untuk memaknai apa sebenarnya
yang menjadi kebutuhan bangsa saat ini.
Maraknya kasus korupsi merupakan salah satu contoh rendahnya pemahaman
tentang rasa nasionalisme yang berujung pada hilangnya identitas bangsa. Sehingga
bangsa kita hilang akan posisi tawarnya dengan bangsa/negara lain. Karena membuat
moral bangsa kita rendah dalam pandangan bangsa lain.
Sudah menjadi tugas dan tanggung jawab kita sebagai anak negeri menjadikan
bangsa ini menjadi bangsa yang beradab. Tentunya dalam mengaktualisasikan diri,
kita (mulai dari diri sendiri) lebih mengutamakan kepentingan atau kebutuhan
bersama. Sehingga dalam berproses, kesalahan atau keagungan masa lalu tidak
menjadi batu sandungan dalam berkarya.
Daftar Pustaka:
Mintoraharjo,Sukowaluyo.2006.Kebangsaan
Kita dan Tantangan Masa Depan.dalam
buku Kontekstualisasi GMKI di Gereja,
Perguruan Tinggi, dan Masyarakat di Era Reformasi Indonesia dan Globalisasi
Dunia. Bandung:GMKI Cabang Bandung.hal. 8-18.
Patty,Albertus.2006.Etnonasionalisme.dalam
buku Kontekstualisasi GMKI di Gereja,
Perguruan Tinggi, dan Masyarakat di Era Reformasi Indonesia dan Globalisasi
Dunia. Bandung:GMKI Cabang Bandung.hal. 3-7.
Sri Sultan Hamengku
Buwono X.2008.Yogyakarta untuk
Nusantara:Renungan Kebangsaan menyambut 63 Tahun Kemerdekaan Republik
Indonesia.Yogyakarta:Forum Rakyat Yogyakarta.

0 Comments:
Posting Komentar